Detail Opini Guru

Opini / Guru / Detail Opini Guru

Kesiapsiagaan Bencana dan Kearifan Lokal Karuhun Sunda dalam Tata Guna Lahan

Admin Senin, 18 Juli 2022 11:05 WIB 0 Komentar

Sungai Cikuray melewati dusun Wanasigra

 

Sejak tadi malam, (15/07/2021), Whatsapp Story dan grup-grup Whatsapp yang penulis ikuti di lingkungan akademik dan lingkungan Desa Tenjowaringin ramai menginformasikan hujan besar yang disertai dengan beberapa kejadian: longsor di sejumlah titik dan aliran sungai Cikuray yang meluap sangat tinggi hingga sejumlah bangunan hanyut terbawa arus. Kejadian longsor memang cukup lumrah terjadi di lingkungan desa kita, bahkan saya pernah mendengar cerita-cerita orangtua tentang longsor besar seperti misalnya longsor di Cipeuti (Pasirmukti) dan Legok Gombong yang menggusur dan menimbun rumah warga di masa lalu. Namun kejadian caah—luapan air sungai Cikuray yang begitu besar hingga mungkin sudah dapat dikategorikan sebagai banjir bandang—sepanjang hidup baru kali ini saya dengar terjadi.
  
Kejadian-kejadian tadi malam lantas—melalui obrolan dengan Pak Dodi, kolega saya di Al-Wahid—mengingatkan saya akan sejumlah sumber sejarah karuhun baik yang bersifat tertulis ataupun sumber lisan dan tradisi mengenai tata guna lahan. Sumber sejarah tersebut sayangnya sudah banyak dilupakan dan ditinggalkan, padahal apabila dicermati mengandung kearifan dan kecerdasan (local wisdom/local genius) karuhun kita dalam menggunakan dan mengkonservasi lahan—yang pada akhirnya meminimalisir risiko bencana.
 
Tata Guna Lahan dalam Naskah Warugan Lemah
Sebagai seseorang yang belajar mengulik masa lalu karuhun Sunda, saya menemukan sebuah naskah yang menarik tentang tata guna lahan berjudul Warugan Lemah. Naskah tersebut menurut para peneliti naskah (filolog) berasal dari periode Sunda Kuna—masa Sunda Pra-Islam dan ditulis sekurang-kurangnya sebelum abad XVII. Naskah Warugan Lemah ditulis di atas daun lontar dengan aksara Sunda Kuna yang mirip dengan aksara pada prasasti Kawali di Ciamis sehingga analogi mungkin berasal dari masa yang sezaman. 
Penamaan Warugan Lemah diberikan berdasarkan kalimat awal dari naskah ini—ini warugan lemah—dan apabila kita terjemahkan kata perkata dapat dimaknai sebagai Bentuk Tanah/Lahan (warugan berarti badan—dari kata waruga; dan lemah berarti tanah atau lahan). Nama naskah ini rupa-rupanya sesuai dengan isinya yang mencatat 18 jenis lahan dan menggambarkan jenis topografi yang lazim dijadikan hunian masyarakat Sunda Kuno. 

Kedelapanbelas jenis topografi lahan tersebut ada yang diberi istilah/nama antara lain adalah talaga hangsa (topografi condong ke kiri), banyu metu (topografi condong ke belakang), purba tapa (topografi condong ke depan), ambek pataka (topografi condong ke kanan), ngalingga manik (topografi yang membentuk puncak), singha purusa (topografi antara puncak dan kaki pasir/bukit), sri madayung (topografi lahan yang berada di antara dua sungai), sumara dadaya (topografi lahan datar), luak maturun (topografi lembah di antara dua bukit), tunggang laya (topografi lahan yang menghadap ke laut), mrega hideng (lahan bekas kuburan), jagal bahu (tanah atau lahan yang menganga), talaga kahudanan (lahan yang membelah sungai), si bareubeu (tanah atau lahan yang berada di bawah aliran sungai—katunjang ku cai), serta topografi yang tidak secara khusus diberi nama antara lain adalah topografi lahan yang melipat, wilayah yang membelakangi bukit atau gunung, kampung yang dikelilingi rumah, dan bekas tempat kotor yang dikelilingi oleh rumah. 

Menarik perhatian bahwa kedelapanbelas jenis lahan yang disebutkan disertai dengan keterangan baik dan kurang baik untuk dijadikan hunian dengan bentuk yang mirip dengan konsep matak/pimatakeun pada masyarakat Sunda masa kini. Dari kedelapanbelas tipe lahan yang disebut Warugan Lemah, hanya terdapat empat topografi yang dikatakan baik untuk dijadikan pemukiman yaitu tanah dengan topografi talaga hangsa, ngalingga manik, singha purusa, dan sumara dadaya sedangkan keempatbelas bentuk lahan lainnya kurang atau tidak baik untuk dijadikan hunian. Meskipun sangat bersifat mistis—seperti terlihat dari pimatakeun yang dikatakan merupakan konsekuensi menghuni jenis lahan tertentu seperti disukai dan kurang disukai orang—secara logis dan geografis naskah ini menyiratkan kecerdasan dalam menentukan hunian yang aman serta bentuk penanggulangan bencana yang bersifat preventif. 

Keempat lahan yang disebutkan dalam Warugan Lemah dan baik untuk dihuni antara lain tanah yang condong ke kiri (talaga hangsa) dapat diidentifikasi sebagai lahan yang landai ke kiri namun tidak curam, tanah yang berada di puncak bukit atau lebih tinggi dari wilayah-wilayah sekitarnya (ngalingga manik), tanah landai yang berada di antara puncak dan kaki bukit (singha purusa), serta tanah yang datar (sumara dadaya) secara logika geografi memiliki risiko bencana yang rendah baik dari longsor atau banjir apabila dibandingkan dengan jenis-jenis lahan lain yang disebutkan. Karakter topografi tanah lain bila dicermati memang sangat rawan bencana baik bencana alam seperti longsor (banyu metu, purba tapa, ambek pataka, luak maturun, jagal bahu, dan wilayah yang melipat), banjir (sri madayung, talaga kahudanan, si bareubeu), ataupun gelombang laut (khusus tunggang laya) maupun bencana yang bersifat non-alam seperti lahan pemukiman yang tersebar sehingga kurang dapat tanggap apabila terjadi sesuatu dan lahan bekas pekuburan dan pembuangan sampah yang rawan akan penularan penyakit. Klasifikasi baik kurang baiknya suatu lahan dalam Warugan Lemah bila dipikirkan lebih dalam merupakan bentuk kearifan karuhun kita dalam penataan lahan yang telah jauh-jauh hari ada! 

Konservasi Alam dan Lahan sebagai Upaya Preventif Penanggulangan Bencana dalam Sumber Lisan dan Tradisi
Selain Warugan Lemah, jejak-jejak tradisi lisan dan tradisi yang masih dipegang erat saudara-saudara kita di Baduy dan masyarakat adat lain dapat dijadikan gambaran mengenai konservasi alam yang dapat meminimalisir risiko bencana alam dan sosial. Saudara-saudara kita di Baduy misalnya memegang pantangan/tabu (buyut) sebagai berikut:

Buyut nu dititipkeun ka puun
nagara satelung puluh telu
bagawan sawidak lima
pancer salawe nagara
gunung teu beunang dilebur
lebak teu meunang diruksak
larangan teu meunang dirempak
buyut teu meunang dirobah
lojor teu meunang dipotong
pondok teu meunang disambung
nu lain kudu dilainkeun
nu ulah kudu diulahkeun
nu enya kudu dienyakeun
mipit kudu amit
ngala kudu menta
ngeduk cikur kudu mihatur
nyokel jahe kudu micarek
ngagedag kudu bewara
nyaur kudu diukur
nyabda kudu diunggang
ulah ngomong sageto-geto
ulah lemek sadaek-daek
ulah maling papanjingan
ulah jinah papacangan

Terjemahan:
"Buyut yang dititipkan pada puun
negara tiga puluh tiga
sungai enam puluh lima
pusat dua puluh lima negara
gunung tidak boleh digempur
lembah tidak boleh dirusak
tabu tidak boleh dilanggar
patokan/adat tidak boleh diubah
panjang tidak boleh dipotong
pendek tidak boleh disambung
yang lain harus dipandang lain/
kepunyaan orang lain jangan
diaku milik sendiri
yang dilarang harus dilarang/yang
tidak boleh jangan dibolehkan
yang benar harus dibenarkan
mengambil harus pamit
mengambil harus minta
mengambil kencur harus
memberi tahu pemilik
mencungkil jahe harus memberi
tahu
mengguncang pohon supaya
buahnya berjatuhan harus
memberi tahu/meminta terlebih
dahulu
bertutur harus dipikirkan dulu
berkata harus dipikirkan supaya
tidak menyakitkan
jangan berbicara sembarangan
jangan berucap seenaknya
jangan mencuri walaupun kekurangan
jangan berjinah dan berpacaran"

Pantangan-pantangan saudara-saudara kita di Baduy di atas pada hakikatnya menggambarkan dua jenis kecerdasan leluhur. Pertama, dalam mengelola alam untuk meminimalisir risiko bencana seperti larangan menghancurkan wilayah gunung dan lembah. Perusakan alam (penebangan hutan/pembukaan lahan) di wilayah gunung seperti diketahui dapat menyebabkan berbagai potensi bencana seperti longsor dan banjir, begitu pula di wilayah lembah. Kedua, kecerdasan sosial dan budaya yang bertujuan untuk membentuk harmoni dan keteraturan sosial. 

Selain di Baduy, di sejumlah wilayah di Tatar Sunda masih ditemui pepatah-pepatah dalam bentuk tradisi lisan dalam menjaga alam dan lingkungan yang bermuara pada penanggulangan bencana seperti misalnya pada pepatah berikut: Gunung kaian, gawir awian, cinyusu rumatan, pasir talunan, lebak caian, sampalan kebonan, walungan rawatan, legok balongan, daratan sawahan, situ pulasaraeun, lembur uruseun, basisir jagaeun. Pepatah ini menyebutkan bentuk-bentuk cara pengelolaan lahan sesuai dengan karakternya antara lain gunung sebaiknya ditanami kayu-kayuan, tebing-tebing yang berpotensi longsor tanami bambu, menjaga sumber air dan aturan penggunaan jenis lahan untuk sawah, kebun, dan pemukiman.  

Berefleksi dari Bencana Alam dan Menggali Kembali Kearifan Karuhun
Dari kejadian kemarin, pikiran saya melayang pada pengalaman-pengalaman menelusuri seluk beluk geografis Desa Tenjowaringin serta perjalanan-perjalanan menyusuri hulu sungai Cikuray. Apabila diperhatikan, topografi Tenjowaringin yang berbukit-bukit memang sangat rawan akan longsor dan sejumlah pemukiman memang berada di kategori yang kurang baik apabila didasarkan pada naskah Warugan Lemah misalnya. Begitu pula, hulu sungai Cikuray telah sedemikian rusak. Wilayah-wilayah serapan air yang dulunya hutan, kini telah berubah menjadi lahan pertanian dan persawahan. Air hujan yang begitu deras, kini tidak dapat dikurangi lajunya melalui penyerapan oleh lapisan-lapisan pepohonan dan vegetasi, namun langsung mengalir melalui lahan-lahan pertanian yang gundul. 

Lantas dari pikiran geografis, pikiran saya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan historis dan proyeksi masa depan: Bukankah kejadian-kejadian ini sesungguhnya telah lama diantisipasi oleh karuhun kita? Bukankah apabila kita memegang prinsip karuhun kita dapat meminimalisir risiko bencana yang hari ini kita hadapi? Bagaimana caranya agar saudara-saudara kita dapat memahami prinsip konservasi alam sehingga baik hunian maupun lahan-lahan pertanian kita dapat aman sebagaimana mestinya? Pertanyaan-pertanyaan yang agaknya tidak cukup saya sendiri pikirkan namun harus jadi bahan pemikiran bersama-sama warga desa Tenjowaringin dan sekitarnya sebagai sebuah refleksi kolektif untuk masa depan yang lebih baik. 

 

Oleh: Dani Sunjana (Pengajar Sejarah & Peneliti Niskala Institut)

 


Bagikan ke:

Apa Reaksi Anda?

0


Komentar (0)

Tambah Komentar

Agenda Terbaru
Prestasi Terbaru