Detail Opini Guru

Opini / Guru / Detail Opini Guru

E=mc²: Dari Fisika ke Metafisika

Admin Kamis, 6 Januari 2022 20:20 WIB 0 Komentar

Nampaknya sulit untuk mencari persamaan yang begitu terkenal seperti halnya E=mc². Orang awam seperti saya sekalipun setidaknya pernah mengenalnya. Dan yang membuat persamaan ini begitu menarik, bahkan inisial nama penemunya tersirat. E yang dimaksudkan sebagai energi secara kebetulan mengabadikan nama sang penemu: Einstein. 

E=mc². Di mana e adalah energi, m adalah massa dan c (celeritas) adalah kecepatan. Karena massa adalah ukuran jumlah materi dalam suatu benda, maka    persamaan ini menujukkan adanya kesetaraan antara energi dengan massa. 

Dalam keseharian secara awam kita menjumpai fakta bahwa  benda dengan ukuran (baca: massa) kecil namun bila ia bergerak dengan kecepatan tinggi terbukti bisa menimbulkan daya rusak (anggaplah energi) yang besar. Kasus tabrakan kendaraan yang melaju kencang bila dibandingkan dengan yang lambat merupakan contoh yang bisa diamati. 

Semakin cepat suatu benda bergerak maka semakin besar massanya. Itulah mengapa kendaraan tadi akan lebih ringsek bila bertabrakan dalam kecepatan tinggi. 

Samar-samar saya juga bisa melihat fenomena dualitas cahaya dalam persamaan ini. Cahaya kadang bertingkah sebagai partikel (materi) dan kadang sebagai gelombang (energi). Barangkali ini sudah agak terlalu jauh. Saya harus berhenti. 

Sekarang kembali kepada persamaan E=mc². Saya tergoda untuk menggunakan persamaan ini dalam menerangkan fenomena ganjaran atau pahala yang dihubungkan dengan amal dan kekhlasan. Namun sebelum lanjut, perlu kiranya mendiskusikan betapa erat kaitan antara keikhlasan dan niat. 

Ikhlas artinya bersih atau murni. Sementara niat memiliki makna lainnya di luar yang kita kenal. Niat antara lain berarti biji (نَوَى), inti (نَوَاةٌ) bahkan kematian (مَنِيَّةٌ). Terdapat benang merah antara ikhlas dan niat. Keduanya mengisyaratkan kepada ketiadaan dan kemurnian. Hal ini penting kita pahami sebagai dasar pembicaraan kita selanjutnya. 

Baiklah, kita akan mulai masuk ke pembahasan yang saya maksudkan. E=mc² seakan diformulasikan untuk menggambarkan secara matematis ajaran bahwa nilai amal bergantung kepada niatnya. Sesederhana apapun amalan kita bila niatnya tulus dan memiliki kadar keikhlasan tinggi maka pahala atasnya sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, secara eksponensial akan berlipat 10, 100, 700 atau bahkan tak berhingga. 

Bila kita masukkan sebuah amal ke dalam persamaan E=mc², di mana e adalah pahala, m adalah amal/kebaikan dan c adalah niat/keikhlasan, kita akan mendapatkan bahwa semakin tinggi nilai niat atau keikhlasan dalam beramal semakin tinggi pula nilai pahalanya. 

Itulah sebabnya hanya dengan bermanis muka saat bertemu sesama termasuk ibadah yang mendatangkan pahala besar. Begitu pula dengan menyingkirkan onak duri dari jalanan. Bahkan, memberi minum seekor anjing yang kehausan telah menjadikan seorang pendosa masuk ke dalam sorga. Inilah transformasi amal (m) berbobot niat (c) setara dengan pahala (e) yang dahsyat--atau bighairi hisāb dalam redaksi Qur'aninya.

Tentu saja pendekatan ini sangat terkesan menggelikan dan bernuansa cocokologi. Dan dengan kenaifan seorang awam, saya siapkan diri untuk dinilai seperti itu. 

Tentu juga Einstein tidak akan berpikir ke arah ini. Namun, implikasi dari sebuah gagasan seringkali di luar jangkauan si penggagas itu sendiri--seperti halnya usulan pembuatan bom atom oleh Einstein yang pada akhirnya membawa malapetaka dan kemudian disesalinya sepanjang hidup. Pun demikian dengan implikasi pada dimensi metafisika sebagaimana salah satunya diajukan penulis. 

Semoga saja tulisan ini tidak termasuk yang akan disesali penulisnya.

Oleh: Dodi Kurniawan, S.Pd.


Bagikan ke:

Apa Reaksi Anda?

0


Komentar (0)

Tambah Komentar

Agenda Terbaru
Prestasi Terbaru