Knowledge is power, but character is wonder
Nabi Adam a.s. yang kita kenal sebagai utusan Tuhan yang pertama di dunia, meninggalkan jejak sejarah yang menyita perhatian. Mulai dari pro-kontra “manusia pertama”, pohon terlarang, dua anak, sampai pemahaman mengenai Surga yang ditempati olehnya. Sejak kecil, kisah Nabi Adam cukup menyenangkan untuk disimak menjelang tidur. Layaknya dongeng-dongeng pengantar tidur lainnya, peristiwa-peristiwa diluar nalar manusia dibumbui dengan sedemikian rupa agar anak-anak mulai berimajinasi dengan bebasnya. Bagi anak-anak, mungkin kisahnya menyenangkan. Namun bagi kita yang sudah beranjak dewasa, sudah pasti akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan dalil yang kuat dan masuk akal.
Nabi Adam a.s. adalah orang pertama yang dibimbing oleh Allah SWT. untuk mengenal ketauhidan Ilahi di muka bumi. Kepada beliau a.s. telah diajarkan “asmaa” atau sifat-sifat Allah, yang kemudian dihayati dan diterapkan secara perlahan dalam kehidupan. Adam a.s. menghadapi kaum primitif yang perlu dibina. Beliau a.s. mempersiapkan tiga kebutuhan dasar manusia yang kita ketahui bersama yaitu, Sandang Pangan Papan, yang menjadi cikal bakal peradaban manusia di bumi ini. Singkatnya, Nabi Adam a.s. adalah pelopor peradaban umat manusia, dan kita rasakan perkembangannya hingga saat ini.
Di dalam berbagai sumber baik dari Al-quran, Alkitab dan berbagai literatur sejarah, Adam a.s. hidup di dalam surga. Suatu ketika beliau a.s. berbuat kesalahan dan diusir dari Surga tersebut. Hampir seluruh umat Islam dan Kristen menganggap bahwa surga yang ditinggali Adam adalah surga yang berada di luar bumi ini, dan tidak bisa dijelaskan dimana persisnya surga itu berada. Maka dari itu, melalui tulisan ini, Saya akan mengajak pembaca berkenalan dengan surga yang ditinggali oleh Nabi pencetus peradaban ini.
Menurut Ilmu bahasa Arab, “Jannah” atau Surga ialah:
Setiap taman atau kebun yang penuh dengan pepohonan yang banyak dan rindang sampai menutupi tanah. (Kamus Aqrabul Mawaarid)
Dinamakan Jannah karena menyerupai taman-taman yang tampak di dunia walau terdapat perbedaan yang besar antara keduanya. Atau karena nikmat-nikmat yang terkandung didalamnya tersembunyi dari kita, seperti diisyaratkan. (Kamus Aqrabul Mawaarid)
Dalam Al-qur’an, Allah Swt. melukiskan Surga sebagai tempat yang menyediakan segala macam buah-buahan dan daging. Di dalam Surga, diperebutkan piala (glas) yang didalamnya tidak berisi sesuatu yang sia-sia dan tidak pula dosa. (Q.S. At-Tuur: 23-24)
Keterangan-keterangan diatas cukup memberikan gambaran yang jelas tentang Surga dan apa yang ada di dalamnya. Jika kita mengambil kesimpulan bahwa Surga yang ditinggali oleh Nabi Adam a.s. adalah Surga yang dijanjikan di akhirat nanti, akan timbul banyak keganjilan dalam memahaminya. Dalam ayat Al-qur’an diatas dijelaskan bahwa didalam Surga tidak berisi sesuatu yang sia-sia dan tidak pula dosa. Dengan kata lain, Syaitan tidak mungkin bisa berada dalam Surga karena Syaitan selalu menjerumuskan manusia ke dalam dosa. Lalu, bagaimana mungkin Syaitan bisa menghasut Adam di dalam Surga hingga dikeluarkan dari tempat tersebut?
Kemudian dalam Surah Al-Hijr ayat 49, Allah Swt berfirman, “Keletihan tidak akan menyentuh mereka didalamnya (Surga), dan selamanya mereka tidak akan dikeluarkan dari situ." Akan Nampak jelas bertentangan dengan pemahaman yang ada selama ini bahwa Adam a.s. diusir dari Surga dan kemudian tinggal di Bumi. Firman Allah SWT sendiri menampik hal itu. Bahkan dalam Hadits Rasulullah SAW. Bersabda:
“Allah Swt berfirman, “Aku menyiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh sesuatu (surga) yang tidak pernah dilihat, tidak pernah didengar oleh suatu telinga, bahkan tidak pernah terlintas pada pikiran atau hati manusia.” (H.R. Bukhari, kitab bidil Khalq, bab sifat Al-Jannah)
Nabi Adam a.s. tidak mungkin pernah menempati surga yang disinggung oleh Rasulullah SAW tersebut, karena surga tersebut tidak pernah dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga manusia, bahkan tak pernah bisa dibayangkan dalam pikiran manusia. Jadi, tidak mungkin Surga tersebut pernah dimasuki Nabi Adam a.s. yang notabene seorang manusia yang berasal dari tanah. Bahkan lebih tidak mungkin lagi ada Iblis yang menggoda manusia di dalam sana.
Setelah kesalahpahaman mengenai Surga ini sudah terang benderang, timbul pertanyaan lagi, lalu dimana letak Surga yang ditinggali oleh Nabi Adam ini? Jawabannya akan menjadi sangat logis dan sesuai dengan keterangan yang ada. Nabi Adam a.s. lahir dan diciptakan di muka bumi ini. Maka beliau hidup dan berkembang di bumi ini juga. Adapun surga yang dimaksud ialah suatu kondisi dimana manusia menemukan kemudahan dan kesenangan yang merupakan situasi dalam kehidupan beradab. Kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang tercukupi membuat manusia berada dalam surga dunia yang nyata. Manusia yang awalnya tak berpakaian sudah mulai menutup badannya. Tidak kelaparan karena sudah bisa mencari dan mengatur makanan. Tidak kepanasan dan kehujanan karena sudah terlindungi oleh tempat tinggal. Manusia tidak lagi hidup nomaden Karena segala kebutuhan telah terpenuhi disana. Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka manusia akan terus menderita pergolakan-pergolakan sosial, akhlak dan moral yang tak pernah membaik, serta kesenjangan ekonomi diantara satu dengan yang lainnya. Pada akhirnya, umat Nabi Adam a.s. sudah menjadi masyarakat yang beradab dan merasakan hidup di dalam surga.
Menurut penyelidikan, Surga yang dimaksud tersebut adalah daerah subur di wilayah Iraq. Daerah itu menjadi subur dan makmur berkat dua buah sungai besar yang terkenal, yaitu Eufrat dan Tigris. Nabi adam dan kaumnya memanfaatkan sungai tersebut untuk memenuhi segala aspek kebutuhan hidupnya. Jadi, kisah Nabi yang dahulu bagaikan dongeng pengantar tidur yang memanjakan telinga, kini berubah menjadi rekam jejak sejarah yang masuk akal dan didukung dengan banyak fakta. Agama adalah ajaran yang sesuai dengan logika berpikir manusia. Bukan agama namanya jika tak masuk di akal. Tuhan menjadikan manusia beragama agar manusia bisa berkata dan bertindak sesuai koridornya. Kisah Nabi Adam ini merupakan sebuah pembelajaran bagi kita, bahwa seorang utusan Tuhan yang dipilih dari antara manusia, tidak akan mungkin berbuat sesuatu atau mengalami peristiwa di luar kodrat manusia.
Penulis: Mumtazah Akhtar
Komentar (0)