Knowledge is power, but character is wonder
Penulis: Sukmawati Nur Fitri
Sebagai makhluk sosisal manusia memiliki caranya tersendiri dalam berinteraksi yaitu menggunakan bahasa. Bahasa adalah satu diantara alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Indonesia adalah negara yang memiliki 720 bahasa daerah dan satu bahasa persatuan.
Beberapa bahasa daerah di indonesia memiliki ragam bahasa atau tingkatan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Tingkatan tersebut contohnya dalam bahasa sunda yaitu lemes, loma, dan kasar. Bahasa lemes biasanya digunakan saat acara resmi daerah dan saat kita berbicara dengan orang yang lebih tua usianya atau orang yang lebih tinggi jabatanya. Bahasa loma digunakan ketika kita berbicara secara informal atau dengan teman atau rekan sejawat. Sedangkan bahasa kasar adalah bahasa dengan tingkat kesopanan yang rendah, biasa digunakan saat marah.
Namun, yang terjadi sekarang masyarakat seolah-olah menganggap bahasa kasar sebagai bahasa pergaulan. Anak remaja masa kini menganggap mereka merasa gagah saat menggunakan bahasa tersebut. Bahkan anak-anak siswa SD dan tingkat TK pun sering terdengar menggunakan bahasa kasar tersebut saat berbicara dengan teman sejawatnya. Bahasa kasar tersebut seolah-olah sudah menjadi bahasa sehari-hari yang ringan digunakan. Sebagai seorang guru bahasa saya merasa terusik dengan fenomena ini.
Teman sebaya dan lingkungan sekitar banyak mempengaruhi cara berbicara, terutama golongan anak-anak dan remaja. Anak-anak dan remaja biasanya bergaul di luar rumah terutama di sekolah atau tempat-tempat ramai, contohnya di pasar raya atau restoran cepat saji. Golongan ini lebih cenderung menggunakan bahasa yang kasar dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini sangat jelas apabila mereka bergaul dengan teman sebaya. Sebagai contoh, ungkapan seperti ”apa kau sudah gila?" atau "Lu punya otak gak sih?" sering diungkapkan oleh kebanyakan anak-anak atau remaja untuk menunjukkan rasa marah atau geram terhadap sesuatu hal. Sebenarnya ungkapan tersebut dan banyak lagi perkataan lain yang memiliki unsur kasar atau tidak sopan tidak enak didengar walaupun diungkapkan antara teman sebaya.[1]
Rumah adalah sekolah pertama bagi manusia dan keluarga adalah guru pertama dan paling utama bagi seorang anak. Anak yang hidup dalam keluarga dengan tingkat emosi yang tidak stabil dapat memepengaruhi mereka dalam menggunakan bahasa. Seseorang yang sering mengungkapkan perkataan yang tidak baik dan kasar merupakan gambaran situasi emosi yang kusut, resah dan wujud pemberontakan. Orang tua sebagai guru pertama seorang anak juga sangat mempengaruhi, contohnya seorang ibu atau bapak yang menggunkan bahasa kasar ketika berbicara atau menegur anaknya di dalam rumah akan membentuk anak yang juga menggunakan bahasa kasar tersebut. Hal tersebut terjadi karena anak terbiasa mendengar orang tuanya menggunakan bahasa tersebut. Anak adalah peniru yang baik maka apapun yang dilakukan orang tuanya mereka akan mengikutinya.
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh penutur yang berpendidikan tampak jelas perbedaannya dengan yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan rendah. Kebanyakan mereka yang menggunakan bahasa kasar ialah mereka yang mempunyai pengetahuan rendah dan kurang teliti dan peka dengan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi dan penggunaan percakapan mereka sehari-hari. Mereka ini mempunyai tahap akademik yang rendah dan tahap pembacaan mereka juga lemah. Biasanya mereka yang sering mengungkapkan bahasa kasar dalam percakapan sehari-hari hanya berdasarkan perkataan yang dianggap biasa bagi mereka namun sebaliknya bagi golongan lain. Contohnya, perkataan ”celaka”, ”sial” dan sebagainya. Hanya mereka yang mempunyai tahap pendidikan yang tinggi dan mengamalkan kesantunan dalam kehidupan tidak menggunakan bahasa kasar atau tidak sopan ini, karena mereka masih menjaga perasaan orang lain ketika berkomunikasi. Ini karena mereka sadar akan tanggungjawab mereka sebagai orang yang berpendidikan harus menggunakan bahasa yang benar agar tidak dipandang rendah oleh masyarakat.
Media sosial mempunyai pengaruh yang besar dalam seluruh elemen kehidupan, karena perkembanganya yang semakin maju dengan pesat. Kaum remaja saat ini sangat ketergantungan terhadap media sosial, tentu hal ini menyebabkan remaja menjadi anti sosial. Selain menjadi anti sosial remaja pun banyak mendapatkan bahasa-bahasa baru dan sebgaian besar bahasa baru tersebut adalah bahasa kasar berupa istilah-istilah yang menggunakan bahasa kasar. [2]
Sebuah bahasa akan rusak apabila bahasa tersebut diungkapkan dengan kasar dan disalah gunakan. Misalnya penggunaan bahasa kasar yang diucapkan dalam kehidupan sehari-hari seolah sudah biasa diucapkan dalam berkomunikasi baik komunikasi langsung atau komunikasi dalam pesan singkat atau media sosial. Hal tersebut mengakibatkan kerusakan bahasa dan menjatuhkan martabat bahasa itu sendiri.
Dengan meningkatnya penggunaan bahasa kasar pada kehidupan masyarakat tentu akan mempengaruhi pada penggunaan bahasa remaja dan anak-anak. Mereka akan terbisa menggunakan bahasa kasar bersama teman-temannya dalam perbincangan sehari-hari. Hal tersebut pun terlihat saat anak bergaul dengan teman-temanya di lingkungan sekolah. Penggunaan bahasa kasar ini memberikan kesan negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Jika tidak ada usaha untuk membendung situasi ini, maka tidak mengherankan jika gejala sosial juga turut berlaku dalam kalangan remaja.
Kekeliruan bahasa akan dialami oleh generasi yang akan datang. Mereka akan mengalami kekeliruan dalam mempelajari suatu bahasa. Mereka akan kebingungan dalam menggunakan bahasa untuk mengungkapkan kata-kata dalam kehidupan sehari-hari. Trend pengucapan bahasa kasar akan diwariskan menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka akan beranggapan bahwa penggunaan bahasa kasar tidak salah dan lama kelamaan akan menjadi kebiasaan bagi generasi tersebut.
Melansir dari skata.info[3] cara mengatasi remaja yang mudah berkata kasar adalah sebagai berikut.
Sebagai orang tua atau pendidik kita harus menjadi seseorang yang cerdas, “Sebelum menghakimi remaja dan memberi nasehat panjang lebar akan kalimat yang mereka lontarkan, selami dulu alasan mereka melakukannya. Kenapa mereka mengatakannya, apakah paham artinya, dan tahukah mereka akan dampaknya?” jelas dr. Irmia Kusumadewi, SpKJ(K).
Perhatikan pula lingkungan remaja bergaul. Jika Anda mengetahui bahwa teman-temannya ternyata suka berkata kasar, jangan sungkan untuk menegur. Agar remaja tidak tersinggung atau menganggap Anda berlebihan. Beri ia pemahaman bahwa teman yang berinteraksi dengannya setiap hari akan membawa pengaruh yang sangat besar dalam sikap, kepribadian, pola pikir, bahkan masa depannya kelak. Pastikan ia memilih teman yang membawa dampak positif dalam hidupnya.
Dimulai dari kita, berikan contoh dengan selalu berkata baik. Hindari sebisa mungkin kata kasar saat berada di dekat remaja, meskipun kita hanya bergurau dengan teman-teman kita.
Berilah pengertian pada anak bahwa penggunaan kata kasar tidak membuat mereka keren. Penggunaan kata kasar justru bisa menyebabkan perundungan pada lawan bicara. Sebagai anak yang berpendidikan kita harus menggunakan bahasa yang baik.
Besarnya pengaruh tontonan televisi, YouTube, atau influencer di media sosial (yang suka berkata kasar), menjadikan anak mudah mengikutinya. kita perlu membatasi tontonan apa yang boleh mereka lihat dan siapa idola yang boleh mereka ikuti, tentunya dengan mengajaknya diskusi terlebih dahulu agar anak paham tujuan dari kesepakatan tersebut.
Apabila berbagai cara ternyata tidak berhasil membuatnya berhenti menyelipkan kata kasar dalam komunikasi harian, memberi konsekuensi bisa menjadi solusi. Tegaskan bahwa keputusan ini terpaksa harus kita ambil karena tidak ingin ia tumbuh menjadi orang yang tidak menghargai orang lain. Tentukan dulu kata apa saja yang dianggap kasar kemudian tentukan jenis konsekuensinya, sesederhana membayar "denda" ke celengan hingga mengambil haknya atas hal yang ia sukai seperti screen time.
Selain cara-cara tesebut perlu adanya kerjasamma antara orang tua, sekolah dan lingkungan masyrakat untuk membendung penggunaan bahasa kasar tersebut. Orang tua harus memberikan contoh dan bekal kepada anak dalam menggunakan bahasa yang baik dilingkungan awal mereka yaitu keluarga. Sekolah sebagai intitusi pendidikan pun harus menjadi tempat anak belajar mengunakaan bahasa yang baik, guru harus memberikan contoh dan kosekuensi kepada siswa yang menggunakan kata kasar dalam bergaul di sekolah. Masyarakat harus mendukung penggunaan bahasa yang baik di depan anak terutama pada anak-anak dan remaja. Masyarakat harus menegur penggunaan bahasa yang tidak baik pada anak, bukan malah menertawakan dan seolah menjadikan anak yang berkata kasar sebagai hiburan.
[1] Muhammad Dzaky Murtadha, Pengaruh Penggunaan Bahasa Kasar Dalam Konteks Pergaulan (Bandung: The A-Teams Corner, 2015), h. 6.
[2] Nina, Euis Fajriah dan Novi Dewi Astri Nurzanah, Analisis Kesantunan Berbahasa dalam Berkomunikasi Melalui Media sosial pada Pelajar SMA Muhammadiyah Puraseda Kabupaten Bogor. (Bogor umiro.ac.id, 2021), h. 25.
[3] Mindy Paramita, Mengapa Remaja Suka Berkata Kasar?. (skata.info, 2021). Diakses pada 11 Juli 2023.
Komentar (0)