Knowledge is power, but character is wonder
Foto yang ditampilkan Kamran Khalid di akun twitternya @KamranKhalid02
Pernah terantuk dengan kata atau kalimat yang bila dibaca dari bolak-balik kiri-kanan sama? Misalnya, kata malam. Atau frasa kasur rusak. Atau, Ibu Ratna antar ubi. Inilah fenomena kebahasaan yang disebut palindrom. Menurut Wikipedia palindrom adalah sebuah kata, frasa, angka maupun susunan lainnya yang dapat dibaca dengan sama baik dari depan maupun belakang. Kita boleh mengabaikan spasi ataupun suku kata dari sebuah kata, seperti pada kata-kata Dr. Akward.
Pun begitu dengan angka. Dan angka tentu saja kemudian bisa berupa tanggal. Selasa kemarin, 22 Februari 2022 didapuk sebagai tanggal cantik. Status Facebook, Instastory dan status WA ramai membincangnya. Betapa tidak bila ditulis dengan angka tanggal tersebut tertulis 22022022. Dibolak-balik menghasilkan bacaan yang sama. Ini merupakan contoh palindrom dalam angka. Dan bukan hanya itu, ternyata 22022022 juga merupakan sebuah ambigram, yaitu dibaca atas-bawah tetap sama. Perhatikan fakta menarik tentang tanggal cantik ini seperti yang dicuitkan oleh pemilik akun Twitter @SidraaRana!
Ya, kedelapan angka di atas akan dibaca meski bolak-balik depan-belakang dan atas-bawah. Terlebih menarik lagi apabila angka nolnya kita hilangkan. Maka susunannya murni terdiri dari angka dua. Untuk itu beberapa orang memplesetkan hari di mana tanggal tersebut jatuh sebagai Twosday alias Hari Dua.
Palindrom dan ambigram pada awalnya lahir dari kegandrungan sebagian orang terhadap simetri atau keseimbangan. Tentu saja sebagian orang di sini dalam arti mereka yang melakukan penelitian akan fenomena tersebut. Faktanya kita semua menyukai simetri karena merupakan bagian dari sifat kehidupan yang senantiasa menjaga keseimbangan. Barangkali yang menjadi persoalan mengapa tanggal palindromik dan ambigramik begitu meriah dibicarakan?
Tentu kita maklumi bersama. Kita tengah menjalani linimasa yang di dalamnya apapun bisa dengan mudah menjadi viral. Tepatnya, berbagai platform media sosial menjadi juru sorak yang ampuh. Kemajuan teknologi informasi yang tidak diimbangi literasi yang memadai menjadikan kita melayang-layang (floating) dalam kecamuk gelombang informasi. Anak-anak remaja kita memparodikan korban dari kondisi sekarang ini sebagai anak layangan (alay). Mereka barangkali tidak sefilosofis itu saat membuat istilah alay. Namun sebutan alay terasa mengena. Dan fenomena terlepasnya dari pegangan seperti ini bukan hanya milik generasi milenial. Semua generasi pernah menjalaninya.
Kembali kepada palindrom, apakah sebelumnya tidak ada tanggal secantik ini? Secara logika sederhana tentu ada. Setidaknya ada satu (dan satu-satunya) tanggal yang identik dengan tanggal cantik Selasa kemarin, yaitu 11 Januari 1011 atau bisa ditulis 11011011. Hanya saja nasibnya beda. Belum ada medsos waktu itu. Tanggal cantik saat itu berbarengan dengan kedatangan kaum Tamil ke Nusantara untuk berdagan di pantai barat Sumatera.
Kita cukup beruntung dipertemukan dengan hari Selasa lalu. Setelah jelas tidak ada yang cukup tua untuk mengenang pertemuannya dengan tanggal 11 Januari 1011 yang menurut laman What Day of the Week jatuh pada hari Jum'at. Malangnya kita pun tidak akan bertemu lagi dengan tanggal cantik dalam format hh/bb/tttt. Jumlah bilangan hari dalam satu bulan kalender kita paling banyak 31 hari. Sehingga komposisi 33033033 tidak akan pernah ada.
Usikan tanggal cantik ini menggoda angan liar untuk mewacanakan semesta paralel bila ingin bersua dengan kedua tanggal dalam linimasa kita yang sudah menjadi bagian dari sejarah. Atau menengok dimensi lain yang kalenderisasinya memungkinkan kita menemukan tanggal cantik 33033033. Atau, alternatif lainya melakukan rekayasa dimensi di semesta kita sendiri meski resiko terburuknya justru kita mengalami disorientasi waktu yang menjadikan tanggal cantik kehilangan maknanya. Itulah 'kutukan' bagi mereka yang melakukan rekayasa dimensi seperti yang diobrolkan Kang Guru Gembul di kanal YouTube-nya.
Semoga tulisan kecil ini bisa mendorong pembacanya untuk senantiasa belajar menalar dan bukan sebatas nyinyir.
Oleh: Dodi Kurniawan
Komentar (0)